Kumpulan artikel, makalah, berita terkini, tutorial dan lain-lain

BestChange1

Electronic currency exchanger listing

POLIGAMI (DALAM PERSPEKTIF FILSAFAT HUKUM ISLAM)

POLIGAMI (DALAM PERSPEKTIF FILSAFAT HUKUM ISLAM)

BAB I

PENDAHULUAN



A.    Pendahuluan

Pernikahan merupakan salah satu langkah dalam diri manusia untuk melangsungkan kehidupan manusia di dunia ini. Terlepas akan tugas dan tanggung jawab mereka sebagai mahluk yang diciptakan oleh Tuhan mereka, yang berbeda-beda, dan terdiri antara laki-laki dan perempuan saja. Dari keduanya lah tercipta bibit baru sebagai generasi penerus dan menjaga kelestarian kehidupan manusia di dunia ini.

Dalam diri manusia terdapat rasa cinta dan kasih sayang, dan jika dipertemukanya antara laki-laki dan perempuan merupakan hakekat pernikahan, dalam upaya mencapai kebahagian diantara sesama. Selain itu fungsi perkawinan adalah salah satunya usaha untuk menghindari perbuatan tercela yaitu zina, sebagaimana zina adalah larangan dari Allah swt. Manusia yang memiliki hawa nafsu untuk selalu berusaha memenuhi hak libidonya, maka disyari’atkanlah yang namanya pernikahan, antara laki-laki dan perempuan.

Dalam perkembangannya dalam masyarakat, perkawinan ini ada dalam berbagai bentuk, salah satunya yaitu poligami. Poligami yang dalam ayat suci al-Qur’an diperbolehkan hanya sebatas empat perempuan saja. Dan poligami ini merupakan hak yang hanya dimiliki oleh suami, dan istri tidak memilikinya. Poligami yang dulunya diperbolehkan, karena poligami saat itu merupakan salah satu cara untuk mengatasi problem sosial, dimana terjadi banyak janda-janda karena ditinggal suaminya mati di medan perang karena membela agama Allah swt.

Dan poligami saat ini, seakan-akan menjadi sunnah Rosulullah. Bagi yang menjalankan poligami mendapat tambahan pahala, karena telah mengikuti jejak Rosulullah saw. sehingga orang-orang berupaya dan berusaha menjalankan poligami dalam masyarakat. Padahal poligami dalam kondisi sosial masyarakat saat ini telah menimbulkan pertentangan dari masyarakat, karena dirasa sang suami tidak lagi setia terhadap istrinya dan telah merendahkan perempuan.

Sehunbungan dengan hal itu, makalah ini akan mengulas tentang poligami dalam prespektif filsafat hukum Islam, dengan pembahasan diantaranya, pengertian poligami beserta yang berkaitan, dasar poligami, poligami dalam KHI, dan poligami dalam prespektif hukum Islam, dan korelasinya dengan kondisi sosial saat ini, khususnya Indonesia.

B.     Rumusan Masalah

Rumusan masalah dari makalah ini adalah :

• Bagaimana Islam memandang poligami?

• Bagaimana syarat diperbolehkannya poligami?





C.    Tujuan

Tujuan disusunnya makalah ini adalah :

• Mengetahui pandangan islam tentang poligami

• Mengetahui syarat-syarat poligami



D.    Manfaat

Manfaat yang dapat di ambi dari bahasan poligami adalah  dapat megetahui makna poligami dalam ajaran agama islam. Menggali lebih dalam makna poligami dalam islam serta dapat belajar menjadi insan yang arif dan bijaksana untuk mengargai hidup dan bisa lebih menghargai perasaan pasangan kita.









BAB II

PEMBAHASAN



A.    Pengertian Poligami

Kata monogami antonim dari kata poligami, jadi salah jika dilawankan dengan kata poliandri. Kata monogami adalah perkawinan dengan istri tunggal  yang  artinya seorang laki-laki menikah dengan seorang perempuan saja,[1] sedangkan kata poligami yaitu perkawinan dengan dua orang lebih dalam waktu yang sama.[2] Dengan demikian makna ini mempunyai dua kemungkinan pengertian; Seorang laki-laki menikah  dengan lebih dari seorang perempuan ataupun perempuan menikah dengan banyak laki-laki. Kemungkinan pertama disebut Polygini dan kemungkinan yang kedua disebut Polyandry.[3]

Hanya saja yang berkembang pengertian itu mengalami pergeseran sehingga poligami dipakai untuk makna laki-laki beristri banyak saja, sedangkan kata poligyni sendiri tidak lazim dipakai. Dengan demikian penggunaan poligami sudah bergeser dari akar sejarahnya.

Poligami berarti ikatan perkawinan yang salah satu pihak (suami) mengawini beberapa lebih dari satu istri dalam waktu yang bersamaan, bukan saat ijab qabul melainkan  dalam menjalani hidup berkeluarga, sedangkan monogami berarti perkawinan yang hanya membolehkan suami mempunyai satu istri pada jangka waktu tertentu.[4] Jadi poligami adalah suatu bentuk perkawinan di mana seorang pria dalam waktu yang sama mempunyai istri lebih dari seorang wanita. Yang asli di dalam perkawinan adalah monogami, sedangkan poligami datang belakangan.

Sebagaimana dikemukakan oleh banyak penulis, bahwa poligami itu berasal dari bahasa Yunani, kata ini merupakan penggalan kata Poli atau Polus yang artinya banyak, dan kata Gamein atau Gamos yang berarti kawin atau perkawinan. Maka jikalau kata ini digabungkan akan berarti kata ini menjadi sah untuk mengatakan bahwa arti poligami adalah perkawinan banyak dan bisa jadi dalam jumlah yang tidak terbatas.

Namun dalam Islam, poligami mempunyai arti perkawinan yang lebih dari satu dengan batasan. Umumnya dibolehkan hanya sampai empat wanita saja. Islam melarang poligami yang tidak tanpa batas, sebagaimana yang terjadi dalam sejarah masa lampau.

Menurut para ahli sejarah poligami mula-mula dilakukan oleh raja-raja pembesar Negara dan orang-orang kaya. Mereka mengambil beberapa wanita, ada yang dikawini dan ada pula yang hanya dipergunakan untuk melampiaskan hawa nafsunya akibat perang, dan banyak anak gadis yang diperjualbelikan, diambil sebagai pelayan kemudian dijadikan gundik dan sebagainya. Makin kaya seseorang makin tinggi kedudukanya,  makin banyak mengumpulkan wanita. Dengan demikian poligami itu adalah sisa-sisa pada waktu  peninggalan zaman perbudakan yang mana hal ini sudah ada dan jauh sebelum masehi.[5]

B.     Dasar Poligami dalam Islam

Yaitu terletak dalam surat An-Nisa` ayat 3



وَإِنۡ خِفۡتُمۡ أَلَّا تُقۡسِطُواْ فِي ٱلۡيَتَٰمَىٰ فَٱنكِحُواْ مَا طَابَ لَكُم مِّنَ ٱلنِّسَآءِ مَثۡنَىٰ وَثُلَٰثَ وَرُبَٰعَۖ فَإِنۡ خِفۡتُمۡ أَلَّا تَعۡدِلُواْ فَوَٰحِدَةً أَوۡ مَا مَلَكَتۡ أَيۡمَٰنُكُمۡۚ ذَٰلِكَ أَدۡنَىٰٓ أَلَّا تَعُولُواْ ٣



Artinya:  Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil[265], Maka (kawinilah) seorang saja[266], atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.

Maksudnya  berlaku adil ialah perlakuan yang adil dalam melayani isteri seperti pakaian, tempat, giliran dan lain-lain yang bersifat lahiriyah. Dan Islam memperbolehkan poligami dengan syarat-syarat tertentu. sebelum turun ayat Ini poligami sudah ada, dan pernah pula dijalankan oleh para nabi sebelum nabi Muhammad SAW. Ayat Ini membatasi poligami sampai empat orang saja.[6]

Dan demikian juga disebutkan dalam surat An-Nisa` ayat 129, Allah SWT berfirman:



رَبَّنَا وَٱبۡعَثۡ فِيهِمۡ رَسُولٗا مِّنۡهُمۡ يَتۡلُواْ عَلَيۡهِمۡ ءَايَٰتِكَ وَيُعَلِّمُهُمُ ٱلۡكِتَٰبَ وَٱلۡحِكۡمَةَ وَيُزَكِّيهِمۡۖ إِنَّكَ أَنتَ ٱلۡعَزِيزُ ٱلۡحَكِيمُ ١٢٩



Artinya:  Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, Karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Sejak masa Rasulullah SAW, Sahabat, Tabi`in, periode Ijtihad dan setelahnya sebagian besar kaum Muslimin memahami dua ayat Akhkam itu sebagai berikut:

1.      Perintah Allah SWT, “maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi”, difahami sebagai perintah ibahah (boleh), bukan perintah wajib. Seorang muslim dapat memilih untuk bermonogami (istri satu) atau berpoligami (lebih dari satu). Demikianlah kesepakatan pendapat mayoritas pendapat mujtahid dalam berbagai kurun waktu yang berbeda.

2.      Larangan mempersunting istri lebih dari empat dalam waktu yang bersamaan, sebagaimana dalam firman Allah “maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi; dua, tiga atau empat”. Menurut alqurtuki, pendapat yang memperkenankan poligami lebih dari empat dengan pijakan nash di atas, adalah pendapat yang muncul karena yang bersangkutan tidak memahami gaya bahasa dalam al-qur`an dan retorika bahasa arab.

3.      Poligami harus berlandaskan asas keadilan, sebagaimana firman Allah, “kemudian  jika kamu takut tidak akan berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki.“ (qs. An-nisa`: 3) seseorang tidak dibolehkan menikahi lebih dari seorang istri jika mereka merasa tidak yakin akan mampu untuk berpoligami. Walaupun dia menikah maka akad tetap sah, tetapi dia berdosa terhadap tindakannya itu.

4.      Juga sebagaimana termaktub dalam ayat yang berbunyi, “dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil diantara istri-istri (mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian”. adil dalam cinta diantara istri-istri adalah suatu hal yang mustahil dilakukan karena dia berada di luar batas kemampuan manusia. Namun, suami seyogyanya tidak berlaku dzolim terhadap istri-istri yang lain karena kecintaannya terhadap istrinya.

5.      Sebagian ulama` penganut madzhab syafi`I mensyaratkan mampu member nafkah bagi orang yang akan berpoligami. Persyaratan ini berdasarkan pemahaman imam syafi`I terhadap teks al`qur`an, “yang demikian itu adalah lebih cddekat kepada tidak berbuat aniaya”. Yang artinya agar tidak memperbanyak anggota keluarga. Di dalam kitab “akhkam al-qur`an”, imam baihaqi juga mendasarkan keputusannya terhadap pendapat ini serta pendapat yang lain. Dalam pemahaman madzhab syafi`I jaminan yang mensyaratkan kemampuan memberi nafkah sebagai syarat poligami ini adalah syarat diyanah (agama) maksudnya bahwa jika yang bersangkutan tahu bahwa dia tidak mampu member nafkah bukan syarat putusan hukum.[7]

Dan adalagi yang menyebutkan bahwa poligami itu mubah (dibolehkan) selama seorang mu`min tidak akan khawatir akan aniaya. Dilarang poligami untuk menyelamatkan dirinya dari dosa. Dan terang pula bahwa boleh berpoligami itu tidak bergantung kepada sesuatu selain anaiaya (tidak jujur), jadi tidak bersangkutan dengan mandul istri atau sakit yang menghalanginya ketika tidur dengan suaminya dan tidak pula karena banyak jumlah wanita.[8]

C.    Poligami dalam UU No. 1 Tahun 1974

Pada dasarnya aturan pembatasan, penerapan syarat-syarat dan kemestian campur tangan penguasa yang diatur dalam UU No. 1 Tahun 1974 diambil alih seluruhnya oleh KHI. Keberanian KHI mengambil alih aturan tersebut merupakan langkah maju secara dinamis aktualisasi hukum Islam di bidang poligami. Keberanian untuk mengaktualkan dan membatasi kebebasan poligami didasarkan atas alasan ketertiban umum. Lagi pula, ketentuan syari’at surat al Nisa’: 3 derajat hukum perkawinan poligami adalah kebolehan. Kebolehan itu kalau ditelusuri sejarahnya tergantung pada situasi dan kondisi masa permulaan Islam. Dengan demikian poligami dalam KHI sebagai berikut:

1.        Harus didasarkan pada alasan enumeratif. Tanpa dipenuhi salah satu alasan tidak boleh poligami. Alasannya:[9]

a.       Isteri tidak dapat menjalankan kewajiban

b.      Isteri cacat atau sakit yang tidak dapat disembuhkan

c.       Isteri mandul

2.        Harus memenuhi syarat:

a.       Mampu berlaku adil[10]

b.      Mesti harus ada persetujuan isteri

c.       Kepastian atau kemampuan menjamin kehidupan[11]

3.        Harus ada izin Pengadilan Agama.[12]

Dalam hal ini dilibatkan campur tangan Pengadilan Agama. Poligami tidak lagi merupakan tindakan individual affairs. Poligami bukan semata-mata urusan pribadi, tetapi juga menjadi urusanm kekuasaan negara yakni mesti ada izin Pengadilan Agama. Tanpa izin Pengadilan Agama perkawinan itu dianggap poligami liar. Dia tidak sah dan tidak mengikat. Perkawinan tetap dianggap never existed tanpa izin Pengadilan Agama, meskipun perkawinan dilakukan dihadapan Pegawai Pencatat Nikah.[13]

Jadi seorang suami yang mempunyai istri masih hidup, tetapi ternyata tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri, misalnya tidak dapat mendampingi dan melayani suami dengan baik, mengatur rumah tangga dengan baik, termasuk tidak dapat menjaga kehormatan dirinya dari maksiat (suka berzina, pemabuk, judi, dll). Begitu pula jika istri cacat badanya misalnya; lumpuh tidak berdaya, lemah syaraf, atau berpenyakit yang sulit disembuhkan, seperti hilang akal, gila, TBC menahun, lepra dll, dan apalagi jika istri tidak dapat membuahkan keturunan. Dengan alasan-alasan demikian suami dapat beristri lebih dari satu dengan mengajukan permohonan secara tertulis kepada pengadilan. Tetapi dengan alasan –alasan tersebut bagi si pemohon belum cukup untuk dapat diterima oleh pengadilan, karena pengadilan harus memeriksa hal-hal yang telah dijelaskan dalam pasal  5 ayat (1) dan ayat (2) UU No.1/11974.[14]

Melihat pasal-pasal masalah poligami ini seakan-akan hal-hal yang menjadi alasan dalam izin poligami ini hanya melihat sisi dari perempuan belaka, padahal laki-laki atau suami bisa juga, dan tatkala laki-laki itu sebagaimana yang tersebut di atas, jadi perempuan boleh bersuami lebih dari satu. Jadi, alasan hal-hal tersebut tidak adil bagi perempuan, dan alasan tersebut jauh dari harapan sebagaimana konteks ayat tentang turunya perintah poligami. Di mana semangat poligami itu adalah salah satu usaha untuk menyelesaikan persoalan dalam masyarakat bukan menambah persoalan.

Selain itu, yang disyarat dalam poligami adalah adil. Suami harus berlaku adil, padahal kita tahu, berlaku adil itu sesuatu yang sangat mustahil untuk dilakukan oleh orang sekalipun itu rasulullah saw. Dan adil diwaktu dulu berbeda dengan adil dimasa sekarang ini. Di mana dulu dirasa adil, sekarang belum tentu adil. Sehingga adil di situ harus disesuaikan kondisi sosial yang melingkupinya. Artinya adil itu harus diterima dan dirasa cukup tidak hanya oleh individu melainkan masyarakat juga menilai bahwa hal itu adil.

D.    Poligami dalam Prespektif Filsafat Hukum Islam

Islam sebagai agama yang menjunjung tinggi keadilan dan persamaan, rasanya kurang tepat jikalau memperbolehkan poligami begitu saja, bahkan menjadikan Sunah hukum poligami. Sebab sisi lain dari poligami akan mendatangkan ketidakadilan (minimal tidak adil dalam hal perasaan), dan ketidak harmonisan hidup.

Poligami mempunya implikasi negatif yaitu secara psikologis semua istri akan merasa sakit hati bila melihat suaminya karena di dorong oleh rasa cinta setianya yang dalam kepada suaminya, umumnya istri mempercayai dan mencintai suaminya sepenuh hati sehingga dalam dirinya tidak ada lagi ruang cinta terhadap laki-laki lain.

Fazlur Rahman dengan neomodernismenya berpendapat bahwa al-Qur’an sebenarnya dalam menerima poligami hanya bersifat sementara. Secara moral hakekatnya la-Qur’an lebih menuju konsep monogami. Lebih lanjut Rahman berpendapat bahwa dalam surat an-Nisa’ (QS. 4:129) Allah menyatakan bahwa sanya mustahil atau sulit bagi laki-laki untuk berbuat adil dan mencintai lebih dari seorang wanita dalam waktu yang sama. Oleh karena itu, Rahman berpendapat, kebolehan poligami itu merupakan kebijaksanaan al-Qur’an untuk menerima sementara struktur sosial Arab tentang kebiasaan hidup berpoligami, tetapi hakekatnya ideal moral al-Qur’an adalah monogami.[15]

Pendapat oleh Fazlur Rahman, Al-qur’an surah An-Nisa ayat 3 memang menganjurkan poligami dengan disertai syarat bahwa para suami mampu berbuat adil dengan diikuti dengan penegasan “jika engkau khawatir tidak mampu berbuat adil, cukuplah hanya dengan seorang istri".Selanjutnya pada Al-qur’an surah An-Nisa ayat 129 di tegaskan ”kamu sekalian kali tidak akan berbuat adil terhadap istri-istrimu walaupun kamu sangat menghendaki demikian".

Fazlur Rahman tidak sependapat bahwa frase berlaku adil dalam surat An-Nisa ayat 3 hanya terbatas perlakuan lahiriah, Jika frase tersebut hanya pada perlakuan lahiriah saja niscaya tidak ada penegasan dan peringatan yang di sebutkan dalam ayat An-Nisa 129. Dengan memandang izin poligami bersifat temporer dan memandang bahwa yang di maksud dan yang di tuju Al-qur'an yang sebenarnya adalah menegakkan monogami, atau menyelamatkan Q.S. An-Nisa ayat 3 dan 129 dari pengertian kontradiktif.

Dengan begitu, Rahman ingin mengatakan bahwa poligami suatu saat tidak ada dan hukumnya haram. Karena kebolehan poligami itu bersifat sementara, dimana poligami yang terjadi di Arab, sebelum datangnya Islam, orang-orang Arab melakukan poligami tanpa batas, setelah datangnya Islam, maka dibatasi hanya dengan empat perempuan saja. Kalau pun dilakukan langsung ideal moral al-Qur’an yaitu pernikahan monogami, takut agama Islam ini tidak menjadi rahmat tetapi malah menimbulkan masalah baru dengan kondisi sosial Arab saat itu.

Sedangkan al-Thufi, poligami dipandang dari kacamata Islam lebih banyak mendatangkan bahaya daripada manfaatnya, karena manusia menurut fitrahnya mempunyai watak cemburu, iri, dan suka mengeluh. Watak-watak tersebut akan mudah timbul jika hidup dalam kehidupan keluarga poligamis. Dengan demikian poligami bisa menjadi sumber konflik dalam sebuah keluarga.[16]

Menurut mashlahatnya al-Thufi, berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang ada, maka teori pengembangan maslahat bisa diterapkan dalam kasus ini, artinya boleh tidaknya poligami berdasarkan pada sesuatu yang aslah, yang lebih banyak mendatangkan maslahat bagi hamba dan paling sedikit madhorotnya.[17]

Jadi dalam keadaan normal, artinya ketika harus seorang istri tidak mempunyai something, yang mengharuskan suami beristri lagi, maka poligami hukumnya tidak boleh meskipun dhohir ayat membolehkannya. Ketidakbolehanya karena berdasarkan pertimbangan kemashlahatan pihak-pihak yang bersangkutan. Akan tetapi ketika datang keadaan yang memaksa suami untuk poligami, seperti istri mandul atau sakit menahun, maka poligami diperbolehkan dengan syarat suami berlaku adil, walaupun sebenarnya berbuat adil itu sulit sekali atau bahkan tidak mungkin.[18]

Jadi, bagi al-Thufi, sebenarnya kebolehan poligami ini sama kedudukannya dengan kebolehan perceraian, artinya pada hakekatnya boleh dilakukan ketika dalam keadaan terpaksa dan merupakan jalan terbaik paling akhir. Akan tetapi jika dalam keadaan biasa dan masih ada kemungkinan untuk menghindar, maka tidak boleh ddilakukan. Dalam hal ini, poligami tidak tertutup rapat, tetapi juga tidak terbuka lebar. Untuk mengatur itu semua, maka pemerintah RI membuat UU No.1 tahun 1974, PP. No.9 tahun 1975, dan PP. No. 10 tahun 1983 demi menjaga kemaslahatan keluarga dan masyarakat.

Selanjutnya pendapat Muhammad Shahrur, poligami yang terdapat dalam surat an-Nisa’ itu berkaitan dengan kondisi saat itu, yaitu tentang kondisi takut tidak dapat berlaku adil kepada anak-anak yatim. Konteks sejarah ketika turunnya ayat Al-Qur’an (asbabun nuzul) tentang kebolehan berpoligami harus dibaca secara cermat dan jernih, yaitu asbabun nuzul ayat Al-qur’an tersebut turun seusai perang uhud, ketika banyak pejuang Islam (mujahidin) yang gugur di medan perang, sebagai konsekuensinya, banyak anak yatim dan janda yang ditinggal mati oleh ayah dan suaminya, akibatnya, banyak anak yatim terabaikan dalam kehidupan, pendidikan dan masa depannya.[19]

Di sini, kita berhadapan dengan (masalah) anak-anak yatim yang telah kehilangan ayahnya, di mana Allah menghendaki dan memerintahkan kepada kita untuk berbuat baik dan adil kepada mereka, serta menjaga dan memelihara harta mereka dan menyerahkanya kembali kepada mereka ketika mereka telah beranjak dewasa. Bagaimana hal tersebut bisa terwujud? Apakah kita akan mengambil anak-anak yatim tersebut dari asuhan ibunya mereka ke rumah kita, dan mendidik mereka dan memisahkannya dari ibu-ibu mereka? Apakah membiarkan mereka di rumah sendiri dan mempercayakan sepenuhnya kehidupan-kehidupan hidup kepada mereka sendiri? Hal tersebut seakan-akan mungkin! akan tetapi, tetap ada kenyakinan lain: bahwa kita tidak dapat melaksanakan perintah Allah dengan baik.[20]

Oleh karena itu, Muhammad Shahrur memberikan syarat kepada pelaku poligamu dua hal. Pertama, bahwa isteri kedua, ketiga, dan keempat adalah para janda yang memiliki anak yatim; kedua, harus terdapat rasa khawatir tidak dapat berbuat adil kepada anak-anak yatim. Sehingga bagi Shahrur, perintah poligami menjadi gugur jika tidak terdapat dua syarat tersebut.[21]

Sesungguhnya perintah poligami (berdasarkan dua alasan sebagaimana tersebut di atas) akan dapat, menguraikan berbagai kesulitan sosial yang dialami perempuan dalam kehidupan bermasyarakat, antara lain: (1) adanya seorang laki-laki di sisi seorang janda akan mampu menjaga dan memeliharanya agar tidak terjatuh dalam perbuatan yang keji; (2) pelipat gandaan tempat perlindungan yang aman bagi anak-anak yatim di mana mereka tumbuh dan dididik di dalamnya; (3) keberadaan seorang ibu di sisi anak-anak mereka yang yatim senantiasa tetap bisa mendidik dan menjaga mereka.[22]

Sesungguhnya di antara bahaya yang muncul dalam kehidupan bermasyarakat berkenaan dengan persoalana hubungan keluarga adalah kita saat ini memisahkan masalah poligami dari titik pijak di mana perintah Tuhan tentang poligami ditetapkan, yaitu berkaitan dengan anak-anak yatim; kemudian darinya kita menciptakan problem yang memperkuat budaya patriarkhis dan memberikan kekuasaan yang luas bagi laki-laki untuk mengawini dua, tiga atau empat perempuan kapan dia mau, daklam masyarakat yang tidak seimbang jumlah laki-laki dan perempuannya. Konsekuensi paling besar adalah mencipatkan justifikasi-justifikasi bagi kebebasan poligami dalam segala keadaan di bawah peraturan-peraturan yang lemah, yang amat menggelikan dan merupakan tindakan kesewenang-wenangan.

Mereka yang berpendapat bahwa ketiadaan keturunan (mandul) dapat menjustifikasi seorang laki-laki untuk kawin dua atu tiga kali seakan-akan kemandulan adalah bencana yang datang dari pihak perempuan saja dan tidak menimpa laki-laki. Mereka juga mengatakan  bahwa ssyahwat biologis seorang lelaki mengizinkannya untuk berpoligami, sementara mereka melupakan kenyataan laki-laki dan perempuan dalam masalah ini adalah sama. Bahkan, sebagian berpendapat perempuan justru lebih besar syahwatnya ketimbang laki-laki. Mereka juga berpendapat bahwa kelemahan perempuan dalam menjalankan fungsinya sebagai seorang istri karena sakit yang berkepanjangan atau kelemahan fisik memberikan kebebasan bagi seorang laki-laki untuk berpoligami. Lalu, jika yang terjadi sebaliknya yaitu laki-laki yang sakit, bolehkan perempuan menikahi laki-laki lain disamping suaminya tersebut? Dan menurut Shahrur, pendapat mereka itu tidak mempunyai landasan yang tepat sebagaimana yang ada di at-Tanzil al Hakim.[23]

Fitrah, kecenderungan dan karakteristik seks setiap individu adalah berbeda sesuai ddengan realitas organ seks dan hormon yang dikeluarkan. Adakalanya mampu melakukan seks sekali, ada yang dua kali dalam sebulan. Ada yang harus melakukan hubungan seks setiap hari dan ia tidak mampu menahan lebih dari sehari. Ada yang mampu mencapai organisme dalam waktu singkat ada juga yang membutuhkan waktu yang panjang, ada yang butuh cumburayu dulu ada juga yang tidak perlu.[24]

Perbedaan-perbedaan karekteristik seks anttara suami istri tidak tepat sebagai alasan untuk poligami, karena masih ada jalan lain untuk menetralisir kondisi seperti itu, tetapi sering menemui jalan buntu sehingga hal yang mustahil bagi suami istri adalah melanjutkan bahtera kahidupan rumah tangga, bahkan jika kondisi itu dipaksakan maka akan mendorong berbuat zina. Sehingga dalam kondisi seperti ini, maka istri dihadapkan anatara berbuat zina atau poligami.[25]

Kemandulan biasanya 70% terjadi pada wanita dan 30 pada laki-laki. Dalam kondisi seperti ini, suami istri boleh memilih alternatif meneruskan rumah tangga tanpa anak, atau jika kemnadulan dipihak istri, maka upaya mendapatkan anak, suami boleh mengambil perempuan sebagai istri kedua. Hal ini juga harus didasarkan kerelaan dan persetujuan keduanya, bahkan sebaiknya dorongan itu datang dari pihak istri. Adapun jika laki-laki yang mandul, maka mencari kerelaan untuk menceraikan istrinya.[26]

Sesungguhnya masalah poligami yang ditetapkan Tuhan memberikan persyaratan sebagaimana yang disebut diatas (dua hal), sebagai jalan keluar bagi persoalan yang mungkin terjadi dan mungkin tidak. Sehingga kita harus melakukannya poligami tersebut tatkala telah terjadi problem dan sebaliknya kita seharusnya meninggalkannya ketika tidak terjadi problem. Problem itu terkait erat dengan sejarah perkembangan dan kebudayaan masyarakat yang bersangkutan.

Sehigga masyarakatlah yang menetapkan pemberlakuan poligami ataupun melarangnya, sebab dalam pemberlakuannya harus memperhatikan ada tidaknya syarat-syarat poligami itu. Akan tetapi, dalam kedua keadaan tersebut masyarakat haruslah tetap berpegang pada statistik dan pendapat-pendapat para ahli, lalu minta pertimbangan untuk menetapkan poligami atau meninggalkannya.

Selain itu Shahrur berpendapat poligami itu bukanlah masuk dalam wilayah halal dan haram melainkan larangan atau kebolehan. Haram itu bersifat materi, abadi dan universal serta perbuatan-perbuatan keji termasuk hal-hal yang diharamkan. Sedangkan halal adalah bersifat mutlak, akan tetapi tidak mungkin dilaksanakannya kecuali dengan cara yang terbatas. Karena itu persoalan halal terdapat perintah dan larangan di samping pendapat manusia, misalnya melalui polling pendapat, pendataan, dan parlemen. Sehingga kita tidak boleh mengharamkan apa yang telah diperbolehkan Allah dalam hal pelarangan poligami dalam suatu negara tertentu, padahal Allah mengharamkan perbuatan-perbuatan yang keji. Sesuatu yang haram tidak mungkin dihalalkan, akan tetapi sesuatu yang halal mungkin dilarang dan pelaranganya ini tidak mengadung sifat abadi dan umum. [27]

E.     Korelasinya dengan Kondisi Sosial Indonesia Saat Ini

Dengan melihat fenomena poligami di Indonesia, poligami dengan istri lebih muda, maka persyaratannya harus diperketat, selain itu persyaratan itu harus relevan dengan kondisi sosial saat ini. Artinya poligami jangan sampai malah menimbulkan persoalan baru dalam masyarakat, melainkan harus bisa mengurangi persoalan dan menyelesaikan persoalan yang ada di masyarakat. Ini sesuai dengan poligami yang ada, sebagaimana yang diajarkan oleh Rasulullah saw. yang pada akhirnya poligami itu tidak ada lagi, sebagaimana pendapat Fazlur Rahman.

Dan kondisi perempuan di zaman kini tentunya berubah dari masa ke masa. Perempuan saat ini sudah memiliki jauh lebih tinggi derajatnya dibanding masa lalu. Mereka memiliki kesempatan yang sama dengan pihak laki-laki atau bahkan bersama laki-laki dalam menjalankan aktivitasnya dalam wilayah publik. Tentunya mereka memiliki kepribadian yang berbeda dengan perempuan yang masa lalu. Sehingga kondisi yang seperti itu, para wanita saat ini tentunnya tidak ingin dimadu atau dipoligami. Kalau pun mau jumlahnya sedikit dan biasanya dikucilkan dimasyarakat. Karena bagi mereka yang poligami dianggap tidak setia kepada pasangannya.

Poligami sudah menjadi musuh dalam kehidupan bermasyarakat, sehingga poligami jangan dicibir. Poligami yang dalam sejarahnya hidup dikondisi masyarakat yang patriarkal, bisa diterima dengan kondisi laki-laki yang mempunyai jabatan tinggi dan pengaruh dalam kehidupan sosial mereka, dan saat ini hidup dalam kondisi zaman egaliter, kedudukan dan persamaan derajat sebagai seorang manusia.

Artinya kondisi sosial masyarakat Indonesia khususnya, harus secara bertahap demi tahap untuk mencapai ideal moral al-Qur’an, yaitu prinsip perkawinan adalah monogami. Dalam upaya mencapai tersebut, dilakukanlah upaya persyaratan-persyaratan yang ketat dan relevan dengan situasi dan kondisi sehingga poligami itu sulit untuk diwujudkan.

Menurut hemat penulis, hukum poligami untuk kondisi Indonesia saat ini, sesuai dengan konsep Muhammad Shahrur, dimana hukum poligami tidak tertutup rapat dan juga tidak terbuka lebar, sehingga dalam usaha penerapanya di Indonesia, maka dalam hal poligami, diikut sertakan berbagai syarat yang begitu ketat, dan dengan demikian poligami tidak bisa dilakukan oleh sembarangan orang dan semua orang. Syarat yang diajukan oleh Shahrur itu sesuai dengan semangat perintah poligami, yaitu poligami sebagai salah satu cara untuk menyelesaikan persoalan yang mungkin terjadi dalam masyarakat, dan bisa juga mungkin tidak terjadi.

Jadi, poligami itu bukan menimbulkan permasalahan sosial baru tetapi berupaya untuk menyelesaikan atau mengurangi problem sosial yang terjadi di masyarakat. Oleh karena itu peraturan yang ada dalam UU No.1 Tahun 1974 tentang poligami dan sadur oleh KHI harus diganti dalam hal alasan-alasaan untuk poligami. Karena alasan-alasan tersebut hanya berpihak pada laki-laki semata tanpa ada etikad untuk keadilan dan kedudukan perempuan yang sama.





BAB III

KESIMPULAN



Poligami itu hukumnya boleh, dan bukan masuk wilayah haram. Dan kebolehannya tersebut harus memiliki persyaratan atau dalam kondisi tertentu (dharurat). Selain itu poligami harus bisa menyelesaikan atau setidak-tidaknya bisa mengurangi problem sosial masyarakat bukan menambah problem. Jika hal yang demikian maka tidak ada kecemburuan dari pihak istri, untuk berbagi dalam hal poligami.

Dan menurut penulis, konsep Shahrur yang disampaikan di depan lebih baik daripada KHI dan UU No.1 tahun 1974. Karena alasan-alasannya itu tidak memiliki dasar yang kuat. Dan menimbulkan ketidakadilan bagi perempuan karena kedudukan laki-laki dan perempuan adalah sama.

Dan jika melihat kondisi sosial masyarakat saat ini, hukum poligami dipersempit jalan menujunya. Karena kondisi perempuan saat ini sudah memiliki kesempatan dan kedudukan yang sama dengan laki-laki. Mereka juga tidak mau dimadu, dengan begitu hukum poligami akan menghilang dengan datangnya zaman yang akan semakin maju dan berubah.

Pada akhirnya perkawinan yang utama adalah perkawinan monogami, sedangkan poligami derajat perkawinannya boleh. Sehingga diharapkan umat muslim menjalankan ibadah yang paling utama, yaitu perkawinan secara monogami, dan poligami bisa mungkin terjadi dan bisa juga tidak terjadi, karena harus melihat kondisi sosial dan permasahan sosial yang ada.







[1] W.J.S. Poerwadarminta, diolah kembali oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Jakarta: PN Balai Pustaka, 1985), hlm. 654.

[2] Ibid., hlm. 763                                          

[3] Ibid.

[4] Al-Qamar Hamid, Hukum Islam Alternative Terhadap Masalah Fiqh Kontemporer (Jakarta: Restu Ilahi, 2005), hlm. 19.

[5] Aisjah Dahlan, Membina Rumah Tangga Bahagia, Cet 1 (Jakarta: Jamunu, 1969), hlm.  69.

[6] Khoiruddin Nasution, Riba Dan Poligami (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Dengan Academia, 1996) hlm. 84.

[7] Fada Abdul Razak Al-Qoshir, Wanita Muslimah Antara Syari`At Islam Dan Budaya Barat (Yogyakarta: Darussalam Offset, 2004) hlm. 42-45.

[8] Ibid. hlm 200.

[9] KHI, Pasal 57.

[10] Ibid., pasal  55 ayat 2

[11] Ibid., pasal 58 ayat 1

[12] Ibid., Pasal 56 ayat 1

[13] Cik Hasan Bisri, dkk., Kompilasi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), hlm. 59.

[14] Wasman dan Wardah Nuroniyah, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Perbadingan Fiqih dan hukum Positif (Yogyakarta: Teras, 2011), hlm.317-318.

[15] Muhammad Azhar, Fiqh kontemporer dalam pandangan Neomodernisme Islam (Yogyakarta: Lesiska, 1996), hlm. 76.

[16] Muhammad Roy, Dekonstruksi Filsafat Hukum Islam Penerapan Mashlahat Najm al-Din al-Thufi sebagai Metode Dinamisasi Ijtihad Hukum Islam, (Yogyakarta: Pondok Pesantren UII, 2007), hlm. 155.

[17] Ibid.

[18] Ibid., hlm 156.

[19] Muhammad Shahrur, Metodologi Fiqh Islam Kontemporer, Cet. II (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2004), terj. Oleh Sahiron syamsuddin dan Burhanudin, Nahw Usul Jadidah Li al-Fiqh al-Islam, hlm. 426.

[20] Ibid., hlm. 427.

[21] Ibid., hlm. 428.

[22] Ibid, hlm. 429.

[23]Ibid., hlm. 430.

[24] Ahmad Syauqi al-Fanjari, Nilai Kesehatan dalam Syariat Islam, terj. Oleh Ahsin Wijaya dan Totok Jumantoro (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), hlm. 181.

[25] Ibid., hlm. 181-182.

[26] Ibid., hlm. 182.

[27] Shahrur, Metodologi, hlm. 434.

Share :

Facebook Twitter Google+
0 Komentar untuk "POLIGAMI (DALAM PERSPEKTIF FILSAFAT HUKUM ISLAM)"

Back To Top