Kumpulan artikel, makalah, berita terkini, tutorial dan lain-lain

BestChange1

Electronic currency exchanger listing

Sejarah Perkembangan Ushul Fiqh

Sejarah Perkembangan Ushul Fiqh



BAB I
PENDAHULUAN

Sebagaimana ilmu-ilmu keagamaan lain dalam islam, Ilmu Ushul Fiqih tumbuh dan berkembang dengan tetap berpijak pada Al-Qur’an dan Sunnah. Dengan kata lain, Ushul Fiqih tidak timbul dengan sendirinya, tetapi benih-benihnya sudah ada sejak zaman Rasulullah dan sahabat. Masalah utama yang menjadi bagian ushul fiqih, seperti ijtihad, qiyas, nasakh, dan takhsis sudah ada pada zaman Rasulullah dan sahabat.
Kasus yang umum dikemukakan mengenai ijtihad adalah penggunaan ijtihad yang dilakukan oleh Mu’adz Ibnu Jabal. Sebagai konsekuensi dari ijtihad ini adalah qiyas, karena penerapan ijtihaddalam persoalan-persoalan yang bersifat juz’iyah harus dengan qiyas. Contoh qiyasyang dapat dikemukakan adalah ucapan Ali dan Abd. Ar-Rahman Ibnu Auf mengenai hukuman peminum khamr yang berbunyi:
Artinya:
“Bila seseorang meminum khamar, ia akan mengigau. Bila mengigau akan menuduh orang berbuat zina, sedangkan had (hukuman bagi orang yang menuduh itu 80 dera.” ( Asy-Syaukani, VII : 125 )
Adapun pemahaman tentang takhsis dapat dilihat dalam cara Abdullah bin Mas’ud ketika menetapkan iddahwanita hamil. Dia menetapkan bahwa batas iddah-nya berakhir ketika ia melahirkan. Pendapat tersebut didasarkan pada ayat 4 dan 6 surat Al-Thalaq.
Menurutnya, ayat ini turun sesudah turunnya ayat tentang iddahyang ada pada surat Al-Baqarahayat 228. Dari kasus tersebut terkandung pemahaman ushul, bahwa nashyang datang kemudian dapat me-nasakhatau men-takhsis yang datang terdahulu.
Pada masa tabi’in, cara meng-istinbathhukum semakin berkembang. Di antara mereka ada yang menempuh metode maslalahatau metode qiyasdi samping berpegang pula pada fatwa sahabat sebelumnya. Pada masa tabi’in inilah mulai tampak perbedaan-perbedaan mengenai hukum sebagai konsekuensi logis dari perbedaan metode yang digunakan oleh para ulama ketika itu.
       Corak perbedaan pemahaman lebih jelas lagi pada masa sesudah tabi’in atau pada masa Al- ‘Aimmat Al-Mujtahidin. Sejalan dengan itu, kaidah-kaidah istinbathyang digunakan juga semakin jelas bentuknya. Abu Hanifah misalnya menempuh metode qiyas dan istihsan. Sementara Imam Malik berpegang pada amalan orang-orang Madinah. Menurutnya amalan mereka lebih dapat dipercaya daripada hadist Ahad.
       Apa yang dikemukakan di atas menunjukkan bahwa sejak zaman Nabi, sahabat, tabi’in dan sesudahnya, pemikiran hukum Islam mengalami perkembangan. Namun demikian, corak atau metode pemikiran belum terbukukan dalam suatu tulisan yang sisitematis. Dengan kata lain,belum berbentuk ssebagai suatu disiplin ilmu tersendiri.




BAB II
SEJARAH PERKEMBANGAN USHUL FIQIH

A.    Pembukuan Ushul Fiqih
Salah satu pendorong diperlukannya pembukuan ushul fiqihadalah perkembangan wilayah Islam yang semakin meluas, sehingga tidak jarang menyebabkan timbulnya berbagai persoalan yang belum diketahui kedudukan hukumnya. Untuk itu, para ulama Islam sangat membutuhkan kaidah-kaidah hukum yang sudah dibukukan untuk dijadikan rujukan dalam menggali dan menetapkan hukum.
Sebenarnya, jauh sebelum dibukukannya ushul fiqihulama-ulama terdahulu telah membuat teori-teori ushul yang dipegang oleh para pengikutnya masing-masing. Tak heran jika pengikut para ulama tersebut mengklaim bahwa gurunyalah yang pertama menyusun kaidah-kaidah ushul fiqih.
Golongan Hanafiyah misalnya, mengklaim bahwa yang pertama-pertama menyusun ilmu ushul fiqihialah Abu Hanifah, Abu Yusuf dan Muhammad Ibnu Ali Al-Hasan. Alasan mereka bahwa Abu Hanifah merupakan orang yang pertama menjelaskan metode istinbath dalam bukunya Ar-Ra’ydan Abu Yusuf adalah orang yang pertama menyusun ushul fiqihdalam madzhabHanafi, demikian pula Muhammad Ibnu Al-Hasan telah menyusun kitab ushul fiqihsebelum Asy-Syafi’i, bahkan Asy-Syafi’i berguru kepadanya.
Golongan Malikiyah juga mengklaim bahwa Imam Malik adalah orang pertama yang berbicara tentang ushul fiqih. Namun, mereka tiidak mengklaim bahwa Imam Malik sebagai orang pertama yang menyusun kitab ushul fiqih. Pengakuan bahwa Malik sebagai perintis ushul fiqih, menurut Abd.Wahab Ibrahim Sulaiman dapat saja diterima.
Golongan Syafi’iyah pun mengklaim bahwa Imam Syafi’i-lah orang pertama yang menyusun kitab ushul fiqih. Hal ini diungkapkan oleh Al-Allamah Jamal Ad-Din Abd Ar-Rahman Ibnu Hasan Al-Asnawi. Menurutnya,” Tidak diperselisihkan lagi, Imam Syafi’i adalah tokoh besar yang pertama-tama menyusun kitab dalam ilmu ini, yaitu yang tidak asing lagi dan yang sampai kepada kita sekarang, yakni kitab Al-Risalah”.
Kalau dikembalikan pada sejarah, yang pertama berbicaratentang Ushul Fiqihsebelum dibukukannya adalah para sahabat dan tabi’in.hal ini tidak diperselisihkan lagi. Namun, yang diperselisihkan adalah orang yang mula-mula mengarang kitab Ushul Fiqihsebagai suatu disiplin ilmu tersendiri yang bersifat umum dan mencakup segala aspeknya. Untuk itu, kita perlu mengetahui terlebih dahulu teori-teori penulisan dalam ilmu Ushul Fiqih. Secara garis besar, ada dua teori penulisan yang dikenal, yakni :
Pertama, merumuskan kaidah-kaidah fiqiyah bagi setiap bab dalam bab-bab fiqih dan menganalisisinyaserta mengaplikasikan masalah furu’ umum, atau kaidah-kaidah perburuhan.
Kedua, merumuskan kaidah-kaidah yang dapat menolong seorang mujtahid untuk meng-istinbathukum dari sumber hukum syar’i, tanpa terikat oleh para pendapat seorang faqih atau suatu pemahaman yang sejalan dengannya maupun yang bertentangan. Cara inilah yang ditempuh Al-Syafi’i dalam kitabnya Ar-Risalah, suzatu kitab yang tersusunsecara sempurna dalam bidang ilmu ushul dan independen. Kitab semacam ini belum pernah ada sebelumnya, menurut ijma’ ulama dan catatan sejarah.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa kitab Ar-Risalah merupakan kitab yang pertama-tama tersusun secara sempurna dalam ilmu Ushul Fiqih. Kitab ini tersusun dengan metode tersendiri, tanpa terkait dengan kitab-kitab fiqih manapun.

B.     Tahapan-Tahapan Perkembangan Ushul Fiqih.
Secara garis besarnya, perkembangan Ushul Fiqih dapat dibagi dalam tiga tahap, yaitu : tahap awal (abad 3 H): tahap perkembangan, (abad 4 H) dan tahap penyempurnaan (abad 5 H). Masing-masing tahapan akan diuraikan di bawah ini.
1.      Tahap Awal (abad 3 H)
Pada abad 3 H,  di bawah pemerintahan Abbasyiah wilayah Islam semakin meluas ke bagian Timur. Khalifah-khalifah Abbasyiah yang berkuasa dalam abad ini adalah: Al-Ma’mun (w. 218 H), Al-Mu’tashim (w. 227 H), Al-Wasiq (w. 232 H), dan Al-Mutawakkil (w. 247 H). Pada masa mereka inilah terjadi suatu kebangkitan ilmiah dikalangan Islam, yang dimulai sejak masa pemerintahan khalifah Ar-Rasyid. Kebangkitan pemikiran pada masa ini ditandai dengan timbulnya semanagat penerjemahan di kalangan ilmuwan muslim.. buku-buku filsafat Yunani diterjemahkan dalam bahasa Arab dan kemudian diberikan penjelasan (syarah). (Ibrahim Hasan, II : 347). Di samping itu, ilmu-ilmu keagamaan juga berkembang dan semakin meluas objek pembahasannya. Hampir dapat dikatakan bahwa tidak ada ilmu keislaman yang berkembang dan semakin meluas objek pembahasannya. Hampir dapat dikatakan bahwa tidak ada ilmu keislaman yang berkembang sesudah Abbasyiah, kecuali yang telah dirintis atau diletakkan dasar-dasarnya pada zaman dinasti Abbasyiah ini.
Salah satu hasil dari kebangkitan berpikir dan semangat keilmuan Islam ketika itu adalah berkembangnya bidang fiqih, yang pada gilirannya mendorong untuk disusunnya metode berpikir fiqih yang disebut Ushul Fiqih.
Seperti telah dikemukakan, kitab Ushul Fiqih yang pertama-tama tersusun secara utuh dan terpisah dari kitab-kitab fiqih ialah Ar-Risalah, karangan As-Syafi’i. Kitab ini dinilai para ulama sebagai kitab yang bernilai tinggi.
Selain kitab Ar-Risalah, pada abad 3 H. Telah tersusun pula sejumlah kitab Ushul Fiqih lainnya. Isa Ibnu Iban, menulis kitab Itsbat Al-Qiyas, Khabar Al-Wahid, Ijtihad Ar-Ra’y, Ibrahim Ibnu Syiyar Al-Nazhzham, menulis kitab An-Nakt: Daud Ibnu Ali Ibnu Daud Azh-Zhahiri, menulis kitab Al-Ijma’, Al-Ibthal, Al-Taqlid, Ibthal Al-Qiyas, Al-Khabr Al-Mujib li Al-‘Ilm, Al-Hujjat, Al-Khushush wa Al-‘Umum, Al-Mufassar wa Al-Mujmal, dan juga kitab Al-Ushul.


2.      Tahap perkembangan (Abad 4 H)
Abad 4 H, merupakan abad permulaan kelemahan dinasti Abbasyiah dalam bidang politik. Pada abad ini dinasti Abbasyiah terpecah-pecah menjadi daulah-daulah kecil yang masing-masing dipimpin oleh seorang sultan.namun demikian, kelemahan bidang politik ini tidak mempengaruhi perkembangan semangat kelimuan di kalangan para ulama ketika itu. Bahkan ada yang mengatakan bahwa perkembangan ilmu keislaman pada abad 4 H ini jauh lebih maju dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya. Hal ini antara lain disebabkan masing-masing penguasa daulah-daulah kecil itu berusaha memajukan negerinya dengan memperbanyak kaum intelektual.
Sebagai tanda berkembangnya ilmu ushul fiqih dalam abad 4 H ini, yaitu munculnya kitab-kitab Ushul Fiqih yang merupakan hasil karya dari para ulama fiqih.
                        Kitab-kitab yang paling terkenal di antaranya adalah :
a.       Kitab Ushul Al-Kharkhi, ditulis oleh Abu Al-Hasan Ubaidillah Ibnu Al-Husain Ibnu Dilal Dalaham Al-Kharkhi, (w. 340 H). Kitab ini bercorak Hanafiyah, memuat 39 kaidah-kaidah ushul fiqih. Salah satu kaidah yang menurut sebagian ulama menunjukkan kefanatikan penulisnya terhadap madzhab-nya, ialah kaidah yang berbunyi, “Pada dasarnya setiap ayat yang bertentangan dengan perkataan sahabat-sahabat kami mengandung arti nasakh atau tarjih, sehingga harus di-takwil-kan untuk menyesuaikannya”. Jelas sekali bahwa perkataan ini menunjukkan sikap lebih mementingksn perkataan imam-imamanya daripada teks ayat dan sunnah.
b.      Kitab Al-Fushul fi Al-Ushul, ditulis oleh Ahmad Ibnu Ali Abu Bakar Ar-Razim yang juga dikenal dengan Al-Jahshash (305-370 H). Kitab ini juga bercorak Hanafiyah dan banyak mengeritik isi kitab Ar-Risalah, terutama dalam masalah Al-Bayan dan istihsan, Al-Wahab Ibrahim Sulaiman.
c.       Kitab Bayan Kasf Al-Ahfaz, ditulis oleh Abu Muhammad Badr Ad-Din Mahmud Ibnu Ziyad Al-Lamisy Al-Hanafi. Kitab ini di tahqiq oleh Dr. Muhammad Hasan Musthafa Asy-Syalaby. Ia mengatakan bahwa kitab tersebut merupakan kamus yang menerangkan arti lafazh dan arti definisi-definisi yang sangat dibutuhkan oleh para Qadi dan Mufti. Kitab ini mengandung sekitar 128 lafazh/ta’rif dan tidak tersusun berdasarkan abjad, tetapi dengan cara antara lain menurut kaitan pengertian kata-katanya, misalnya kata Al-Kull, Al-Ba’d, dan Al-Juz’u.

3.      Tahap Penyempurnaan (Abad 5-6 H)
Kelemahan politik di Baghdad yang ditandai dengan lahirnya beberapa daulah kecil, membawa arti bagi perkembangan peradaban dunia Islam. Peradaban Islam tidak lagi terpusat di Baghdad, tetapi juga di kota-kota seperti Cairo, Bukhara, Gahznah, dan Markusy. Hal itu disebabkan adanya perhatian besar dari para sultan, raja-raja penguasa daulah-daulah kecil itu terhadap perkembangan ilmu dan peradaban.
Salah satu dampak dari perkembangan itu ialah kemajuan di bidang ilmu Ushul Fiqih yang menyebabkan sebagian ulama memberikan perhatian khusus untuk mendalaminya antara lain Al-Baqilani, Al-Qabdhi Abd. Al Jabar, Abd Al-Wahab Al-Baghdadi, Abu Zayd Ad-Dabusy, Abu Husain Al-Bashri, Imam Al-Haramain, Abd Al-Malik Al-Juwaini, Abu Hamid Al-Ghazali, dan lain-lain. Mereka itulah pelopor keilmuan islam di zaman itu. Para pengkaji ilmu keislaman di kemudian hari mengikuti metode dan jejak mereka, untuk mewujudkan aktivitas ilmiah dalam bidang ilmu Ushul Fiqih yang tidak ada bandingannya dalam penulisan dan pengkajian keislaman.
Dalam sejarah perkembangan ilmu Ushul Fiqih, pada abad 5 dan 6 H. Ini merupakan periode penulisan kitab Ushul Fiqih terpesat, yang di antaranya terdapat kitab-kitab yang menjadi kitab standar dalam pengkajian ilmu ushul fiqih selanjutnya.
Kitab-kitab ushul fiqih yang paling penting, antara lain sebagai berikut:
a.       Kitab Al-Mughni fi Al-Abwab Al-‘Adl wa At-Tawhid, ditulis oleh Al-Qadhi Abd. Al-Jabbar (w. 415 H/ 1024 M). Penulis kitab ini juga penulis kitab Al-Ahd yang oleh Ibnu Khaldun dianggap sebagai salah satu dari empat standar kitab ushul fiqih.
b.      Kitab Al-Mu’amad fi Al-Ushul Fiqih, ditulis oleh Abu Al-Husain Al-Bashri (w.436 H/ 1044 M) yang juga beraliran Mu’tazilah. Kitab ini adalah karya yang paling sempurna dan menjadi sumber utama bagi ulama Mu’tazilah pada umumnya, bahkan dinilai sebagai salah satu dari empat standar kitab ushul fiqih, yang dijadikan rujukan oleh umumnya pengkaji ilmu Ushul Fiqih sesudahnya.
c.       Kitab Al-Iddaf fi Ushul Al-Fiqh, ditulis Abu Al-Qadhi Abu Muhammad Ya’la Muhammad Al-Husain Ibnu Muhammad Ibnu Khalf Al-Farra, yang dianggap sebagai ulama besar madzhab pada abad 5 H. Pengaruhnya di kalangan Hambali sangat besar dan berlanjut sampai ke generasi sunni sesudahnya, khususnya kaum Hambali, melalui berbagai karangan tentang Al-Qur’an, aqidah, fiqih, dan ushul fiqih. Juga terpengaruh oleh kitab Al-Fushul karya Abu Bakar Al-Jashshash dalam masalah Al-Bayan dan macam-macamnya, dan kitab Al-Mu’tamad karya Abu Al-Husain Al-Bashri dalam corak pemikiran Mu’tazilah.
d.      Kitab Al-Burhan fi Ushul Al-Fiqh dituliskan oleh Abu Al-Ma’ali Abd Al-Malik Ibnu Abdillah Ibnu Yusuf Al-Juwaini Imam Al-Haramain. Kitab ini juga dinilai sebagai salah stau kitab Ushul Fiqih. Ibnu Khaldun menilai kitab Ushul Fiqih yang terbaik dari kalangan mutakallimin, di samping kitab Al-Mustasyfa yang ditulis oleh Abu Hamid Al-Ghazali. Kitab Al-‘Ahd yang ditulis oleh Abd. Al-Jabbar, dan kitab Al-Mu’tamad oleh Al-Husen Al-Bashri. Dalam kitab ini, Al-Juwaini menunjukkan keorisinilan dan kebebasan cara berpikir sehingga dalam berbagai hal, ia berbeda pendapat dengan Asy-Syafi’i, Al-Ash’ari, dan Al-Baqilani.
e.      Kitab Al-Mustashfa min Ilm Al-Ushul, ditulis oleh Abu Hamid Al-Ghazali (w. 505 H/1111 M), yang juga dikenal hujjah Al-Islam. Al-Ghazali telah berguru kepada Imam Al-Haramain, dan pernah memimpin madrasah Nizhamiyah. Ia terkenal sebagai ulama yang mendalami fiqih, filsafat, dan tasawuf sekaligus. Kitabnya Al-Mustashfa menurut Ibnu Khaldun, adalah kitab terakhir dari seluruh kitab standar Ushul Fiqih. Hasil-hasil Ijtihad Al-Ghazali yang terpenting dalam Al-Musthasfa antara lain adalah penolakannya terhadap hadits mursal; dalam hal ini, ia berbeda pendapat dengan Malik dan Abu Hanifah. Ia juga menolak pendapat bahwa fatwa-fatwa sahabat dapat dijadikan hujjah jika sahabat lainnya mendiamkannya. Menurut Al-Ghazali fatwa itu tidak dapat menjadi hujjah sebelum yaki bahwa diamnya sahabat itu menyetujui fatwa itu. Ia juga tidak sependapat dengan Asy-Syafi’i dalam taqlid kepada sahabat. Menurut Al-Ghazali, para sahabat sering salah dan lupa, dan tidak ada hujjah yang mutawatir tentang kesucian mereka; mereka pun sering berbeda pendapat sebagai bukti bahwa mereka tidak ma’shum. Dan juga para sahabat itu membolehkan adanya ijtihad lain yang berbeda dengan ijtihad mereka.

C.    Aliran-aliran Ushul Fiqh 
Pada masa tabi’in, penggalian hokum syara’ semakin meluas, lantaran banyak permasalahan yang terjadi pada saat itu, dan banyaknya para ulama’ tabi’in yang memberikan fatwa, seperti Sa’id bin Musayyab dan ulama-ulama Madinah. Al-qamah dan Ibrahim an-Nakha’I di Irak. Sebagai dasar memberikan fatwa, mereka mempunyai al-Qur’an, hadits dan fatwa-fatwa sahabat. Bila tidak terdapat keterangan dalam nash, maka sebagian mereka ada yang menempuh penetapan hokum dengan mempertimbangkan kemaslahatan dan ada pula yang menempuh jalan qiyas.
Setelah periode tabi’in, tepatnya pada masa imam-imam mujtahid, metode penetapan hokum syara’ bertambah banyak corak dan ragamnya. Dengan semakin banyaknya metode penetapan hokum, maka semakin banyak pula kaidah-kaidah istinbat dan petunjuk-petunjuknya
Imam Abu Hanifah membatasi dasar-dasar ijtihadnya dengan menggunakan al-Qur’an, hadits dan fatwa-fatwa sahabat yang disepakati (‘Ijma’ shahabi). Istihsan dan ‘Urf. Sedang fatwa-fatwa shahabat yang masih diperselisihkan, dia bebas memilih salah satunya, dan tidak keluar (menyimpang) dari fatwa-fatwa tersebut. Imam Abu Hanifah sama sekali tidak mau menggunakan pendapat para tabi’in, karena ia berpendapat bahwa mereka (tabi’in) sederajat (sama) dengan dirinya. Dalam berijtihad, dia menyamakan antara qiyas dan istihsan. Seorang muridnya Muhammad ibn Hasan as-Syaibani mengatakan : “Para pengikut Imam Abu Hanifah berdebat dengan beliau dalam masalah qiyas. Jika beliau mengatakan ‘ber-istihsan-lah’, maka tidak ada seorangpun yang melanjutkan perdebatan tersebut”.
Imam Malik mempunyai metode ijtihad yang jelas dengan berlandaskan pada amal (tradisi) masyarakat Madinah. Hal itu dijelaskan didalam kitab-kitabnya, risalah-risalahnya, syarat periwayatan hadits serta kritiknya terhadap hadits yang dilakukan Imam Syairafi al-Mahir. Begitu juga penolakannya terhadap atsar yang dinisbatkan kepada Rasulullah lantaran bertentangan degan nash al-Qur’an atau ketetapan yang telah masyhur dalam kaidah agama, seperti penolakannya terhadap hadits yang berbunyi:

اذا ولغ الكلب فى الماء احدكم غسله سبعا
Artinya: “Apabila ada anjing menjilat pada bejana kamu sekalian, maka bersihkanlah (sucikanlah) tujuh kali”. Al-Hadits

Sikap yang dilakukan oleh Imam Malik seperti tersebut diatas dapat dimaklumi karena Imam Malik hidup bersama para shahabat dan tokoh Islam di Madinah sehingga referensi Khazanah keislaman masih sangat kuat dan belum mengalami permasalahan-permasalahan yang kompleks, seperti yang terjadi diluar Madinah.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Imam Malik membatasi dasar-dasar ijtihadnya dengan al-Qur’an dan hadits (atsar) yang tidak bertentangan dengan tradisi pendudukan Madinah.
Secara berurutan sumber dalil hokum Islam adalah : al-Qur’an, Hadits, Ijma’ (kesepakatan pendudukan Madinah), istihsan, mashalah mursalah, dan adz-Dzara’i.
Imam asy-Syafi’I sangat menguasai hokum-hukum fiqh yang diwariskan oleh para sahabat, tabi’in dan para imam yang  telah mendahuluinya. Juga rekaman hasil diskusi antara aliran fiqh yang bermacam-macam, sehingga ia mendapatkan gambaran yang kongkrit antara fiqh ahli Madinah dan fiqh ahli Irak. Beliau banyak belajar dari Imam Malik tentang fiqh Madinah dan banyak belajar dari Imam Muhammad bin Hasan tentang fiqh Irak dan fiqh Makkah banyak dipelajari dari Abdullah bin Abbas sewaktu beliau berdomisili disana. Abdullah bin Abbas ini sangat dikenal sebagai penafsir al-Qur’an (Turjuman al-Qur’an) dia mengetahui nashih (yang menghapus) dan manshukh (yang dihapus). Dengan pengetahuan mendalam tentang hadits dan belajarnya dan ulama ahli hadits serta perbandingannya dengan al-Qur’an, dia mampu mengetahui kedudukan terhadap al-Qur’an, terutama ketika terjadi pertentangan antara dhahir hadits dengan dhahir hadits.
Dengan penguasaan keilmuan yang komprehensif ditambah penguasannya terhadap fiqh ahli ra’yi serta pendapat para sahabat dijadikan landasan dalam menetapkan qiyas dan juga sebagai dasar untuk menetapkan kaidah-kaidah dalam menggali hokum. Setelah menganalisa secara cermat, Imam asy-Syafi’I kemudian menghimpun (menyusun) metode-metode penggalian hokum syara’ tersebut dalam suatu disiplin ilmu yang hubungan bagian-bagiannya tersusun secara sistematis.
Metode penggalian hokum syara’ disusun oleh beliau secara berurutan sebagai berikut: al-Qur’an, hadits, ijma’ dan qiyas (yang keempat sumber ini disepakati juga imam-imam yang lain). Beliau sangat konsisten dalam mengaplikasikan kaidah-kaidah tersebut dalam praktik kehidupan. Oleh karena itu, ushul fiqh menurut Imam asy-Syafi’I bukan hanya merupakan kerangka teoritik, tetapi sekaligus merupakan ilmu terapan.
Pendapat yang menetapkan Imam asy-Syafi’I sebagai orang pertama yang membukukan ilmu ushul fiqh ini adalah pendapat Jumhur (mayoritas) fuqaha’, dan tidak ada satu orangpun yang mengingkarinya.



BAB III
KESIMPULAN
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa kitab ar-risalah yang disusun oleh as syafi’i merupakan kitab yang tersusun secara sempurna dalam ilmu usul fiqh,kitab ini tersusun dengan metode tersendiri.objek pembahasan dan permasalahannya juga tersusun sendiri,tanpa terkait dengan kitab fiqih yang lain.secara garis besar tahapan-tahapan perkembangan usul fiqh dapat dibagi menjadi tiga tahap:
1.      Tahap awal (abad 3 H )dibawah pemerintaha abasiyah,wilayah islam meluas bagian timur pada saat itu
2.      Tahap perkembanagan(abad 4 H) merupakan abad permulaan kelemahan dinasti abasiyah dalam bidang politik
3.      Tahap penyempurnaan(abad 5-6 H) dampak dari perkembangannya adalah kemajuan dibidang ilmu ushul fiqh yang menyebabkan sebagian ulama memberikan perhatian khusus untuk mendalaminya.















DAFTAR ISI

Abu Zahrah, Muh, “Ushul Fiqih”, Jakarta : Pustaka Firdaus, 1994.
Syafe’i, Rachmat, “ Ilmu Ushul Fiqih”, Bandung : Pustaka Setia, 1999.
Wahhab Khallaf, Abdul, “ Ilmu Ushul Fiqih”, Jakarta : Pustaka Amani, 2003.



Share :

Facebook Twitter Google+
0 Komentar untuk "Sejarah Perkembangan Ushul Fiqh"

Back To Top